A. Pengertian Bermain Peran
Metode bermain
peran adalah berperan atau memainkan peranan dalam dramatisasi masalah sosial
atau psikologis. Bermain peran adalah salah satu bentuk permainan pendidikan
yang di gunakan unutk menjelaskan perasaan, sikap, tingkah laku dan nilai,
dengan tujuan untuk menghayati perasaan, sudut pandangan dan cara berfikir
orang lain (Depdikbud, 1964:171).
Melalui metode
bermain peran siswa diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi, dengan
bantuan kelompok sosial yang anggotanya teman-temannya sendiri. Dengan kata
lain metode ini berupaya membantu individu melalui proses kelompok sosial.
Melalui bermain peran, para siswa mencoba mengeksploitasi masalah-masalah
hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya. Hasilnya didiskusikan dalam
kelas.
Proses belajar
dengan menggunakan metode bermain peran diharapkan siswa mampu menghayati tokoh
yang dikehendaki, keberhasilan siswa dalam menghayati peran itu akan menetukan
apakah proses pemahaman, penghargaan dan identifikasi diri terhadap nilai
berkembang: (Hasan, 1996: 266).
Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd.
(2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran
untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar
dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
a. Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Terhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
a. Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Terhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
b. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
c. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
d. Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis
yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat
diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan
demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan
orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau
diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap
dan nilai yang dimilikinya.
B.
Tahap-tahap Bermain Peran
Menurut
Shaftel (1967) mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan
pedoman dalam pembelajaran:
(1) menghangatkan suasana dan memotivasi
peserta didik,
Menghangatkan
suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah
pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan
mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan.
(2) memilih partisipan/peran,
tahap ini
peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang
mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan,
kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi
pemeran.
(3) menyusun tahap-tahap peran,
pada tahap
ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam
hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk
bertindak dan berbicara secara spontan.
(4) menyiapkan pengamat,
sebaiknya
pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan
dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang
dimainkan dan aktif mendiskusikannya.
(5) pemeranan,
Shaftel
dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa pemeranan cukup dilakukan secara singkat,
sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah
peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama.
(6) diskusi dan evaluasi,
diskusi
akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain
peran, baik secara emosional maupun secara intelektual.
(7) pemeranan ulang,
Pemeranan
ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternative
pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini
memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah.
(8) diskusi dan evaluasi tahap dua,
diskusi
dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan
untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini
mungkin sudah lebih jelas.
(9) membagi pengalaman dan mengambil
kesimpulan.
tahap ini
tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama
bermain peran ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalaman
berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan temannya.
C.
Keunggulan dan Kelemahan Bermain Peran
1.
Keunggulan
a.
peserta
didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena
peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi.
b.
peserta
didik memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
c.
tumbuhnya
suasana demokratis dalam pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi
untuk saling belajar-membelajarkan di antara peserta didik.
d.
dapat
menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi pendidik karena sesuatu yang
dialami dan disampaikan peserta didik mungkin belum diketahui sebelumnya oleh
pendidik.
2.
Kelemahan
a.
membutuhkan
waktu yang relative lebih lama dari waktu pembelajaran yang telah ditetapkan
sebelumnya.
b.
aktivitas
dan pembelajaran cenderung akan didominasi oleh peserta didik yang biasa atau
senang berbicara sehingga peserta didik lainnya lebih banyak mengikuti jalan
pikiran peserta didik yang senang berbicara.
c.
pembicaraan
dapat menyimpang dari arah pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
d.
Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai
pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar